
Jakarta, 10/9/2025 – Delapan puluh tahun Indonesia merdeka seharusnya menjadi momentum penting bagi negara untuk memperkuat demokrasi, memenuhi hak asasi manusia (HAM), serta memastikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, terutama perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya. Alih-alih memperbaiki struktur ketidakadilan, pemerintah justru mengesahkan kebijakan yang semakin memperlebar jurang ketimpangan. Salah satunya adalah penetapan besaran penghasilan resmi anggota DPR RI yang mencapai sekitar Rp230 juta per bulan, 42 kali lipat UMR Jakarta. Kebijakan ini diperparah dengan pemberlakuan tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan (Kompas.com, 26/8/2025). Kebijakan tersebut disahkan di tengah situasi ekonomi nasional yang memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan efisiensi anggaran di berbagai sektor publik.
Ironisnya, keputusan tersebut disambut dengan joget-joget sejumlah anggota DPR RI di tengah sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2025. Kalyanamitra menilai sikap ini nirempati, menyakiti rakyat, dan memperlihatkan bentuk nyata dari penindasan struktural yang dilakukan oleh negara. Sementara elit menikmati fasilitas berlebih dan privilese mereka, perempuan dan kelompok marginal yang bekerja di sektor formal, informal, buruh perkebunan dan sektor lainnya, hingga ibu rumah tangga terus bergulat dengan upah rendah, harga kebutuhan pokok yang terus melambung dan akses terbatas pada layanan publik. Apalagi hingga kini perempuan yang bekerja di sektor kerja perawatan tidak berbayar masih dianggap sebagai kerja yang tidak bernilai ekonomi.
Ketimpangan ekonomi yang makin lebar ini berdampak multi-layer pada perempuan dan kelompok marginal yang tidak hanya secara kultur masih dibebankan tanggung jawab atas pengelolaan rumah tangga dengan sumber daya yang minim, tetapi juga menjadi kelompok paling rentan ketika terjadi konflik. Kelompok marginal lainnya, seperti masyarakat miskin kota, buruh migran, minoritas gender, dan penyandang disabilitas juga semakin terpinggirkan sebagai akibat dari kebijakan yang tidak memperhitungkan kepentingan dan kebutuhannya. Alokasi anggaran yang seharusnya digunakan untuk program perlindungan sosial dan peningkatan hak perempuan dan kelompok marginal malah lebih banyak mengalir pada kepentingan elit politik.
Pemberian tunjangan dan fasilitas mewah ini tidak hanya memperdalam jurang ketidakadilan ekonomi, tetapi juga melanggengkan diskriminasi struktural yang menghambat pemenuhan hak-hak dasar perempuan dan kelompok marginal. Rakyat telah menyuarakan kritik keras, protes dan penolakan terhadap kebijakan yang tidak adil dan mementingkan elit politik pada 25 hingga 30 Agustus 2025. Alih-alih mendengarkan dan merespons kritik dan protes rakyat, negara menggunakan cara represif, pendekatan militeristik, dan dominatif dalam merespons aksi protes. Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas dilindas rantis (ranmor taktis) Brimob pada 28 Agustus 2025 adalah satu dari 10 korban yang kehilangan nyawa akibat kekerasan aparat selama aksi protes. Fakta ini menunjukkan bahwa negara gagal memenuhi tanggung jawabnya sebagai pelindung rakyat dan aparat menjadi alat penindas.
Pendekatan militeristik negara tidak hanya bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi, tetapi juga mencerminkan ketidakberpihakan sistemik terhadap perempuan dan kelompok marginal lainnya. Militerisme yang berkelindan dengan patriarki dan sistem opresi lainnya saling menopang dalam struktur yang semakin menambah lapisan kerentanan dan penindasan, terutama perempuan dengan ragam identitasnya. Keduanya menjunjung tinggi hierarki, kekuasaan absolut, dan mengesampingkan prinsip hak asasi manusia, demokrasi, empati, dialog, dan keadilan sosial, yang penting dalam menjawab persoalan yang dihadapi kelompok perempuan, minoritas, dan masyarakat sipil secara luas.
Untuk itu, Kalyanamitra mendesak pemerintah (eksekutif dan legislatif) untuk:
- Menghapuskan tunjangan dan fasilitas mewah bagi anggota DPR yang menyakiti rakyat di tengah situasi sulit dengan kondisi ekonomi negara.
- Melakukan audit dan reorientasi anggaran negara untuk kebutuhan dasar rakyat antara lain pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
- Mendorong reformasi institusi Kepolisian Republik Indonesia dan TNI, mencakup mencopot Kapolri, penghapusan impunitas, penguatan kontrol sipil, serta perubahan paradigma institusi keamanan dari alat represi menjadi pelindung rakyat.
- Mengungkap pelanggaran hak asasi manusia dalam penanganan aksi demonstrasi serta memastikan pemenuhan hak korban dan keluarganya atas keadilan, kompensasi, restitusi, dan bantuan.
- Mengevaluasi kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat dan mendesak pengesahan seperti RUU Perampasan aset, pelaksanaan kebijakan yang menjamin hak-hak perempuan dan kelompok marginal, termasuk RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat.


